SatuNet.co,Depok – Pilkada Depok 2024 baru saja berlalu, namun meninggalkan catatan serius angka golput yang sangat tinggi.
Dengan dana fantastis sebesar Rp 73 miliar yang dikucurkan Pemkot Depok untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok jauh lebih besar dibanding anggaran pilkada sebelumnya hasil partisipasi masyarakat justru tidak mencerminkan nilai investasi tersebut.hemm ada apa sebenarnya?
Data menunjukkan, dari 1.427.674 pemilih terdaftar, sebanyak 546.662 warga Depok tidak menggunakan hak pilih mereka. Ini berarti tingkat golput mencapai 38,29 persen, hampir dua perlima dari total pemilih.
Padahal, KPU mengklaim partisipasi masyarakat mencapai 62 persen. Namun, angka ini sulit disebut prestasi, mengingat jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga meningkat dibanding pilkada sebelumnya.
KPU Depok, menyebutkan berbagai alasan, mulai dari kejenuhan hingga kendala teknis seperti perubahan TPS dan cuaca, sebagai faktor rendahnya partisipasi.
Namun, argumen ini tidak bisa sepenuhnya diterima. Dengan anggaran sebesar itu, tugas utama KPU adalah memastikan sosialisasi dan pelayanan optimal agar warga terpacu untuk menggunakan hak pilih mereka.
Banyak pihak mendesak DPRD Depok untuk segera memanggil KPU guna meminta pertanggungjawaban atas rendahnya partisipasi pemilih.
Tidak hanya soal hasil, penggunaan anggaran yang bersumber dari uang rakyat juga perlu dibuka secara transparan.
Sosialisasi yang dinilai lemah adalah salah satu sorotan utama. Apakah dana besar itu benar-benar digunakan secara efektif untuk menyadarkan warga Depok akan pentingnya pilkada?
Pengamat juga meminta penelitian lebih mendalam untuk mengidentifikasi akar masalah rendahnya partisipasi.
Apakah faktor teknis seperti TPS yang sulit dijangkau, ketidakpuasan terhadap kandidat, atau bahkan apatisme politik yang semakin menguat? Jika tidak segera diatasi, masalah ini berpotensi kembali terulang pada pilkada-pilkada mendatang.
KPU, sebagai penyelenggara, memiliki tanggung jawab besar untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Anggaran besar yang dikelola harus mampu memberikan dampak signifikan, bukan sekadar melampaui angka partisipasi pilkada sebelumnya. Di sisi lain, DPRD Depok juga harus proaktif mengawasi dan mengevaluasi kinerja KPU.
Rendahnya partisipasi pemilih bukan hanya mencerminkan kegagalan KPU, tetapi juga menunjukkan bahwa demokrasi di Depok masih menghadapi tantangan besar.
Tanpa perbaikan nyata, tingginya angka golput akan terus menjadi noda pada proses demokrasi di kota Depok
Depok tidak butuh sekadar data atau angka, melainkan kualitas penyelenggaraan pilkada yang benar-benar mampu menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam menentukan masa depan kota Depok.