Sejak digulirkan pada 6 Januari lalu di 26 provinsi, program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam pelaksanaannya.
Menurut analisis dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), masalah utama yang mengemuka berkaitan dengan lemahnya tata kelola dan regulasi yang mengatur pelaksanaan program ini.
Diah Satyani Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, menyampaikan, “Belum jelasnya kerangka regulasi dan tata kelola berdampak signifikan terhadap operasionalisasi MBG di lapangan, baik di tingkat pusat maupun daerah.” Hal ini disampaikan pada peluncuran Seri Kedua Kajian Makan Bergizi Gratis.
Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, mengatakan payung hukum yang jelas sangat diperlukan untuk mengatur ruang lingkup program dan mekanisme pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.
“Komisi IX mendesak Badan Gizi Nasional untuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk segera menerbitkan payung hukum terkait dalam bentuk Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden yang menjadi landasan pelaksanaan,” kata Felly usai menghadiri acara CISDI di i-Hub Office & Coworking, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025).
Felly, menyebut pihaknya juga meminta agar peran setiap kementerian dan lembaga jelas diatur dalam peraturan tersebut. Termasuk soal porsi keterlibatan mereka dalam program prioritas Presiden Prabowo Subianto itu.
“Kemudian pihak yang terlibat kementerian lembaga yang tadi saya bilang biar porsinya ada di mana. Kemudian pelaksanaan program, kemudian payung hukum untuk monitoring dan evaluasi program,”tambah Felly.
Kajian yang merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya pada Agustus 2024 itu menyimpulkan bahwa masih banyak persoalan terkait tata kelola yang belum terselesaikan. Beberapa isu utama yang diangkat dalam kajian tersebut antara lain adalah kurangnya regulasi yang jelas, terbatasnya petunjuk teknis, serta alur koordinasi yang belum berjalan dengan baik antara sektor pemerintah dan lembaga terkait.
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah ketidaktersediaan analisis akses terhadap studi penilaian dampak dan biaya manfaat yang dilakukan pada titik uji coba program sepanjang tahun 2024. Selain itu, informasi mengenai metode penghitungan kelompok sasaran program juga masih sangat terbatas.
“Minimnya pelibatan masyarakat sipil juga menjadi kekhawatiran,” ujar Diah.
Lebih lanjut, CISDI juga mencatat bahwa regulasi yang ada saat ini, yakni Surat Keputusan Deputi Bidang Penyaluran Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 2 Tahun 2024 tentang petunjuk teknis operasional MBG, masih dirasa belum cukup kuat.
Surat keputusan tersebut tidak dapat mengikat secara hukum, mengingat seharusnya program sebesar ini diatur dengan regulasi setingkat peraturan presiden.
Sebagai perbandingan, Diah, mengungkapkan bahwa program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) yang telah berjalan sejak tahun 2018 memiliki kerangka regulasi yang jauh lebih solid, termasuk peraturan setingkat presiden dan dukungan kebijakan dari kementerian terkait.
Selain masalah regulasi, Diah, juga menyoroti pentingnya koordinasi antar lembaga yang lebih baik dalam pelaksanaan MBG.
Menurutnya, program ini tidak dapat dijalankan oleh BGN secara mandiri dan memerlukan dukungan dari program-program kesehatan lainnya yang sudah ada. “Peran Kementerian Kesehatan harus lebih ditingkatkan dalam implementasi MBG,” tegas Diah.
Dalam hal penyediaan gizi, CISDI juga menyoroti kualitas menu yang disajikan dalam program ini. Dari 29 sampel menu yang dianalisis, hanya 17 persen yang memenuhi target Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi harian yang disarankan.
Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, setiap porsi makan siang harus mampu memenuhi 30-35 persen AKG energi harian serta kebutuhan protein yang mencukupi bagi siswa di tingkat SD hingga SMA.
Lebih lanjut, CISDI menemukan bahwa hampir 45 persen menu yang dianalisis masih mengandung pangan ultra-proses seperti produk susu kemasan berperisa yang tinggi gula. Produk semacam ini diketahui berkontribusi terhadap masalah kesehatan seperti obesitas dan hipertensi.
Dalam kajiannya, CISDI menyarankan agar pemerintah mengikuti contoh dari Brasil, yang mewajibkan penggunaan 85 persen anggaran program makan sekolah untuk pangan segar dan membatasi pembelian produk pangan olahan hingga maksimal 15 persen.
“Langkah ini penting untuk memastikan kualitas gizi yang optimal bagi peserta didik,” tutup Diah.
Dengan adanya catatan kritis ini, diharapkan pemerintah dapat memperbaiki aspek tata kelola dan regulasi yang mengatur program MBG untuk menjamin keberhasilannya dalam memberikan manfaat gizi yang optimal bagi anak-anak Indonesia.